Selasa, 03 Februari 2015

Suku-suku Di Bengkulu



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bengkulu yang terletak dibagian selatan pesisir barat Pulau Sumatra memiliki sembilan sub etnis yang merupakan penduduk asli yaitu, Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Pasmah, Melayu Bengkulu, Serawai, Kaur, dan Enggano. Penduduk asli ini berbaur dengan pendatang dari Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, India, Cina, dan lain-lain yang menyebut diri mereka sebagai orang Bengkulu, melahirkan Bengulu sebagai satu komunitas budaya.
Keanekaragaman etnis melahirkan kekayaan budaya yang menjadi ciri khas masing-masing sebagai aset daerah yang perlu ditumbuh kembangkan. Ciri yang tampak dipermukaan antara lain adat-istiadat beserta atributnya seperti pakaian adat yang merupakan cerminan dari identitas kolektif.
Pada pakaian adat tradisional tersebut terdapat motif-motif yang mencerminkan adat-istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyrakat pendukungnya. Motif-motif itu juga merupakan simbol-simbol yang dapat mengatur pola hidup sehingga komunitas antar individu maupun kelompok akan terjalin dengan serasi. Ada kalanya simbol-simbol tersebut mengandung nilai-nilai sakral yang berkaitan dengan religi bahkan magic yang diyakini mempunyai kekuatan.
B.     Ruusan masalah
Bagaimana suku-suku di Bengkulu ?
C.     Tujuan Masalah
Menjelaskan suku-suku di Bengkulu



BAB II
PEMBAHASAN

SUKU-SUKU DI BENGKULU
A.    Suku Rejang Lebong
Suku bangsa Rejang merupakan suku bangsa tertua dan terbesar. Mereka mendiami Kabupaten Rejang Lebong kabupaten Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kecamatan karang tinggi, Kecamatan Lubuk Durian, Kecamatan Kerkap, dan Kecamatan Air Besi.[1]
Mata pencaharian utama suku Rejang adalah bercocok tanam. Usaha lainnya adalah peternakan, pertukangan kayu, penebangan kayu, menangkap ikan di sungai, penyadapan karet, atau bekerja di perkebunan dan pengolahan kayu. Mereka juga melakukan penggalian batu bara, perak, emas, timah, seng, tembaga dan belerang yang masih dikerjakan secara tradisional. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terbuat dari bahan kayu (papan) tersebut mampu bertahan hingga ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, meskipun terlihat sangat sederhana. Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan simbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan, yang kemudian ditempelkan dinding kayu (menyatu).
Ciri khas ornamen klasik dengan arsitektur bernilai seni tinggi pada rumah orang Rejang mengisyaratkan status sosial pemiliknya. Ciri khasnya adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri, di bagian dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup besar (beranda) . Di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya.[2] Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Rumah-rumah tua ini hampir semuanya dilengkapi kamar mandi di bagian belakang lengkap dengan pancurannya beserta tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan). Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan).[3]
Pakaian pengantin Rejang
Laki-laki menggunakan singal (hiasan kepala), kalung glamor, teratai, pending, gelang, dan kain tanjung bedompak. Pakaian wanita menggunan cu’ulau, layang kunci, kalung emping, dan kain tanjung bedompak.[4]
Kesenian suku Rejang mempunyai ciri khas tertentu, salah satunya Tari Kejei, tarian ini tidak bisa ditarikan disembarang tempat dan acara, mengingat tari ini merupakan tari persembahan yang digelar untuk menyambut tamu yang di agung atau kunjungan pertama, untuk kunjungan selanjutnya tidak digelar lagi, karena tamu tersebut sudah dianggap warga Rejang Lebong.[5]
Tari Keji
Desa orang Rejang disebut juga Marga. Ini merupakan daerah administratif pemerintah yang dikepalai oleh seorang Ginde (pemimpin tradisional), yang kadang-kadang dibantu oleh seorang Penggao. Dalam adat orang Rejang pegawai pemerintah juga merupakan pemimpin tradisional. Di beberapa daerah mereka disebut sebagai raja penghulu. Selain itu ada juga pemimpin yang besar pengaruhnya dalam Marga atau Dusun, yaitu orang lanjut usia yang biasa disebut Tua Dusun atau orang yang dianggap sesepuh di desa tersebut.[6] Orang Rejang menyebutnya Tuai-kutai, seorang persona grata di dalam masyarakat mereka, seorang penasehat warga desa, dan selalu ditunjuk sebagai pemimpin tertua dalam upacara-upacara tradisional.
Sebagian besar orang Rejang beragama Islam. Namun demikian animisme merupakan bagian yang integral dari kepercayaan dan kebiasaan hidup orang Rejang. Misalnya, harimau yang disebut masumai, adalah makhluk yang paling ditakuti. Konon dapat berubah bentuknya dan menjelma menjadi manusia yaitu seorang dukun. Orang Rejang sering menggunakan kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain dari jarak jauh, mengucapkan ikrar di tempat keramat (termasuk kuburan), berziarah ke makam-makam, dan menganut banyak macam ilmu gaib.

B.     Suku Serawai
Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Secara umum, orang-orang Serawai adalah Muslim, namun kehidupan sehari-hari mereka masih banyak dipengaruhi oleh keyakinan animisme. Ini terlihat dari beberapa macam upacara animisme yang masih mereka lakukan, seperti Upacara Mendundang (upacara mencuci benih padi sebelum ditanam) dan Upacara Nuruni (upacara mengikat batang padi yang baru dipanen menjadi satu). Upacara-upacara ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka memperlakukan tanaman padi dengan baik. Dengan demikian, roh dari tanaman padi itu tidak meninggalkan ladang mereka dan terjadi gagal panen. Pada waktu tertentu, para petani juga mempersembahkan kambing di kuil-kuil atau makam kuno. Selain itu, mereka masih sering menggunakan jasa dukun dan takut akan ma`sumai harimau ganas yang menjelma menjadi sosok manusia, yang akan memikat dan menewaskan korbannya.[7]
Jadi, suku serawai ini masih sangat percaya terhadap hal-hal mistis yang diwariskan oleh leluhur mereka. Orang-orang Serawai yang tinggal di pedalaman merupakan kelompok masyarakat termiskin di antara kelompok-kelompok pribumi di Sumatera. Perkampungan mereka terdiri dari rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan menggunakan atap rumbia. Umumnya, perkampungan-perkampungan ini berada di sepanjang sisi jalan atau sungai, dan dikelompokkan ke dalam beberapa marga. Kepala marga disebut pasirah dan diberi gelar khalifah. Untuk mengatur kampung-kampung yang ada dalam kekuasaannya, pasirah dibantu oleh beberapa depati. Satu di antaranya diangkat sebagai mangku atau depati utama.

C.     Melayu Bengkulu
Suku Melayu Bengkulu, adalah salah satu suku yang berdiam di kabupaten Bengkulu. Penyebaran suku Melayu Bengkulu ini terpusat di kota Bengkulu dan di beberapa kabupaten, yaitu di Kepahiang, Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di antaranya: Kain Bersurek, merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul. Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya atau sebesar 95% lebih menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan masyarakat di Provinsi Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut anak yang baru lahir.
Kain Basurek Bengkulu
Pakaian adat pengantin melayu Bengkulu
 
Pakaian laki-laki berhiaskan singal, hiasan kepala, kalung, pending, keris terapang, kain tanjung bedompak, baju betabur dan celana. Pakaian wanita berhiasankan singal, hiasan kepala, kalung gelamor, baju betabur, gelang, sapu tangan, kain tanjung bedompak dan sandal manic.[8]
Salah satu upacara tradisional adalah upacara yang sekarang populer dengan nama TABOT yaitu suatu perayaan tradisional yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 Muharram setiap tahunnya, untuk memperingati gugurnya Hasan dan Husen cucu Nabi Muhammad SAW oleh keluarga Yalid dari kaum Syiah, dalam peperangan di Karbala pada tahun 61 Hijriah. Pada perayaan TABOT tersebut dilaksanakan berbagai pameran serta lomba ikan – ikan, telong – telong, serta kesenian lainnya yang diikuti oleh kelompok – kelompok kesenian yang ada di Provinsi Bengkulu, sehingga menjadikan ajang hiburan rakyat dan menjadi salah satu kalender wisatawan tahunan.
Upacara tradisional Masyarakat Bengkulu

Terdapat empat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu, yakni: Bahasa Melayu, Bahasa Rejang, Bahasa Pekal, Bahasa Lembak. Penduduk Provinsi Bengkulu berasal dari tiga rumpun suku besar terdiri dari Suku Rejang, Suku Serawai, Suku Melayu. Sedangkan lagu daerah yaitu Lalan Balek.[9]
 Budaya Silat Melayu Bengkulu
Dalam budaya suku Melayu Bengkulu ini juga mengenal tradisi pantun. Pantun biasanya dilakukan pada saat melakukan acara-acara resmi, seperti acara pernikahan yang dilakukan semalam suntuk oleh puluhan orang bersama-sama dan bersahut-sahutan. Masyarakat suku Melayu Bengkulu menganut agama Islam, seperti suku Melayu lainnya, bahwa dalam pemikiran Melayu, "Melayu adalah Islam". Agama Islam sangat kuat pengaruhnya dalam budaya Melayu. Terlihat dalam kehidupan sehari-hari, budaya dan tradisi adat, seluruhnya dipengaruhi oleh unsur budaya Islam. Masyarakat suku Melayu Bengkulu saat ini telah berkembang menjadi masyarakat yang maju. Sebagian dari mereka yang hidup di pesisir pada umumnya berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan yang bermukim di kota Bengkulu dan daerah-daerah lain banyak menjadi pedagang, atau bidang profesi lain.

D.    Suku Enggano
Meskipun asal-usul suku Enggano belum diketahui secara pasti, namun masyarakat setempat mmemiliki cerita tersendiri tentang adanya suku Enggano. Menurut leluhur setempat, suku Enggano berawal dari kisah hidup dua pasangan manusia bernama Kimanipe dan Manipah yang merupakan manusia pertama di pulau tersebut. Kisah mereka pun mirip layaknya kisah pasangan manusia pertama Adam dan Hawa. Kaminape dan Manipah pada awalnya adalah penumpang yang terdampar dari musibah di kapal layar mereka. kapal tersebut terkena wabah penyakit sehingga banyak yang meninggal dan hanya menyisakan mereka.[10] Pasca peristiwa tersebut pun, mereka melanjutkan hidupnya di Pulau Enggano dan memiliki beberapa keturunan.
Dahulu karena seringnya terjadi perang antar suku, rumah tinggal Suku Enggano berada di puncak bukit dengan tujuan agar mudah saat mengintai musuh.
Yup Kakadie adalah sebutan untuk rumah tinggal kepala suku Enggano yang berbentuk rumah panggung bulat disangga empat tiang yang tertanam ke tanah. Bagian atas berbentuk kubah dengan atap terbuat dari daun rotan yang sekaligus berfungsi sebagai diding rumah. Tangga dibuat dari sebatang kayu yang dapat dianggat keatas rumah Yup Kakadie tidak mempunyai dapur, untuk kebutuhan pangan kepala suku disediakan oleh warganya. Bangunan ini dikelilingi rumah warga (yup kadiop) yang berbentuk persegi panjang yang juga berfungsi sebagai pelindung terhadap kepala suku dan warganya.[11]
Kehidupan masyarakat pulau Enggano berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya warisan nenek moyangnya, seperti kelompok-kelompok suku bangsa, sistem perkawinan adat, sistem kepemimpinan tradisional, pola pemukiman tradisional dan sistem kemasyarakatan. sampai saat ini sistem-sistem tersebut masih terpelihara, dipertahankan dan dijadikan landasan sosial bagi kehidupan antarumat beragama.
Pakaian tradisional Enggano[12]
            Pakaian tradisional orang Enggano terbuat dari daun pisang kering yang digunakan untuk menutup bagian atas dan bagian bawah sebagai rok.



E.     Muko-muko
Suku Mukomuko, adalah suatu komunitas suku yang pemukimannya berada di bagian paling utara di wilayah provinsi Bengkulu. Dahulunya mereka termasuk masyarakat yang terisolasi di pedalaman, tetapi saat ini telah dibangun akses jalan menuju pemukiman mereka, sehingga mereka terlepas dari keterasingan mereka di pedalaman.
Bahasa yang diucapkan oleh suku Mukomuko ini adalah bahasa Mukomuko. Oleh para peneliti bahasa, bahasa Mukomuko ini dianggap sebagai bagian dari dialek bahasa Minangkabau, karena terdapat beberapa kemiripan dengan bahasa Minangkabau. Sebenarnya selain mirip dengan bahasa Minangkabau, bahasa Mukomuko ini juga sangat berkerabat dengan bahasa Rejang, karena hampir 60% mirip dengan bahasa Rejang. Sedangkan terdapatnya dialek Minangkabau pada bahasa Mukomuko ini diperkirakan dialek ini dibawa oleh para pendatang Minangkabau pada masa lalu yang hidup berbaur dengan masyarakat setempat, dan secara tidak langsung membawa pengaruh ke dalam bahasa asli suku Mukomuko ini. Jadi bahasa Mukomuko ini kemungkinan merupakan hasil asimilasi antara bahasa Rejang dengan bahasa Minangkabau serta dengan bahasa Melayu setempat. [13]
Mata pencaharian utamanya adalah bertani, menangkap ikan, berburu babi hutan bertukang, berdagang, menganyam rotan dan pandan. Kaum wanita umumnya membuat batik yang disebut Besurek dan songket Bengkulu. Kerajinan khas suku Muko Muko adalah kerajinan batu ajik. Di samping itu rakyat juga mengusahakan perkebunan rakyat dengan hasil utama yaitu karet, cengkeh dan kelapa sawit.
Budaya yang sangat terkenal dari suku Muko Muko adalah Tari Gandai, yang merupakan bentuk kesenian dengan ciri budaya Melayu dan dipengaruhi kesenian Minangkabau. Pada saat tertentu, misalnya, menghadiri upacara adat tertentu, mereka memakai busana adat, yaitu jenis teluk belanga/jas tutup warna hitam lengkap dengan destar kain besurek (untuk pria) dan jenis baju/kebaya "Betabur" dengan pasangan kain songket berbenang emas (untuk wanita). [14]
 Tari Gandai
Masyarakat suku Mukomuko secara mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Terlihat dari beberapa kesenian dan adat-istiadat mereka banyak mengandung unsur budaya Islam yang terserap ke dalam budaya suku Mukomuko.
Rumah adat muko-muko
F.      Suku Pekal
Suku Pekal adalah suku bangsa yang mendiami wilayah sekitar kabupaten Mukomuko yang berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Bahasa suku Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada bahasa Minangkabau. [15]
Tradisi dan budaya Pekal ini banyak dipengaruhi oleh dua budaya lain seperti dari budaya Minangkabau dan budaya Rejang. Sepertinya mereka sangat mudah menyerap tradisi dan budaya dari luar, dan menerimanya menjadi bagian dari budaya mereka sendiri. Saat ini sangat susah mencari akar budaya dari suku Pekal, Karena sebagian besar mereka ambil dari tradisi dan budaya dari luar mereka.
Pakaian adat suku Pekal
Suku Pekal adalah pemeluk Islam secara mayoritas. Beberapa acara adat dan seni budaya mereka juga terlihat unsur Islami. Walaupun mereka telah memeluk Islam, tetapi beberapa kepercayaan terhadap hal-hal animisme dan dinamisme masih terlihat dalam kehidupan masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal gaib dan tempat-tempat keramat yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka.
Rumah adat masyarakat suku Pekal itu sendiri tidak berbeda dengan rumah adat dengan suku lainnya yang ada di Bengkulu, yaitu rumah panggung. Sedangkan untuk senjata suku Pekal yaitu keris, tombak, dan parang. Baik yang dianggap sebagai benda keramat dan juga digunakan sebagai senjata untuk berburu hewan serta digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang lainnya. Makanan khas dari Suku Pekal itu sambal unjang. Sambal unjang adalah makanan yang dimasak dalam bambu dan isinya ikan dicampur dengan rempah-rempah. Ikan itu dihancurkan bersamaan dengan bumbu-bumbu dan diletakkan di atas api dan di atasnya ditutup dengan daun pisang. Hampir sama dengan cara memasak lemang ataupun memasak ikan pais, namun yang membedakannya ikan pais menggunkan daun pisang kalau sambal unjang menggunakan bambu.[16]
Masyarakat suku Pekal ini rata-rata hidup dan berprofesi sebagai petani pada perladangan dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat suku Pekal juga telah bekerja pada sektor swasta dan sektor pemerintahan. Suku Pekal 80% mata pencariannya merupakan petani, yakni mayoritas berkebun karet dan kelapa sawit. Dari mata pencarian ini terlihat bahwa suku Pekal pada masa sekarang berada pada tingkatan peradapan pertanian.[17] Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap. Ada jugamasyarakat suku Pekal yang berada di pesisir pantai yang memanfaatkan hasil laut sebagai nelayan.
G.    Suku Lembak
Suku Lembak Kelingi bermukim di pedalaman Bengkulu, yakni di hulu sungai Musi. Tempat tinggal mereka merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan, dengan pola perkampungan yang mengelompok padat. Di Propinsi Bengkulu, mereka menyebut diri mereka sebagai suku Sindang Kelingi atau Lembak Sindang Merdeka. Suku ini biasa juga disebut orang Bulang. Tempat tinggal suku ini terpencar-pencar, di antaranya sebagian ada di Kabupaten Rejang Lebong, yaitu Kecamatan Padang Ulaktanding; sebagian lagi terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara, yaitu di Kecamatan Talangempat. Bahasa orang Lembak adalah bahasa Buang, yang masih serumpun dengan bahasa Melayu.[18] Orang Lembak memiliki tulisan asli yang disebut Surat Ulu, seperti halnya suku Rejang dan Serawai.
Mata pencaharian pokok orang Lembak adalah bercocok tanam di sawah dan ladang. Daerah suku Lembak juga merupakan daerah perkebunan karet dan banyak pria suku Lembak bekerja sebagai penyadap karet. Selain itu mereka mengelola pabrik pembuatan batu bata di pedesaan.
Rumah-rumah orang Lembak berbentuk rumah panggung dengan ruangan-ruangan besar, dan lebih lengkap perabotnya daripada orang Lintang dan Rawas. Listrik tersedia diseluruh daerah dari Muaraklingi sampai Danau Emas. Bahan bakar untuk memasak adalah minyak tanah atau kayu. Kebanyakan rumah memiliki tangga ke arah samping rumah. Pakaian mereka cukup bersih, para pria biasanya tidak mengenakan baju bila di rumah, para wanita yang lebih tua memakai kain sarung.[19]
Rumah adat suku Lembak
H.    Suku Kaur
Suku Kaur adalah suku bangsa di kabupaten Kaur. Pemukiman orang Kaur berdekatan dengan kediaman suku Serawai dan Besemah. Berbeda dengan kedua suku bangsa tersebut yang menggunakan bahasa Melayu Tengah, suku Kaur menggunakan bahasa Kaur.
Mata pencarian pokok suku Kaur adalah petani yang mengandalkan hasil dari persawahan. Selain itu, daerah ini terkenal dengan hasil cengkeh dan lada. Berternak, kebun sawet, kebun karet, menangkap ikan, dan berdagang merupakan usaha tambahan mereka. Kaum pria bekerja di ladang, sementara kaum wanita mengurus rumah tangga. Setelah panen padi, biasanya mereka panen buah-buahan seperti durian dan mangga.
Orang Kaur tidak diperbolehkan menikahi orang dari marga lain, tetapi bisa menikah dengan orang Kaur dari desa lain. Pernikahan hanya bisa terjadi sesudah perayaan panen padi. Usia pernikahan umumnya 20 tahun untuk laki-laki, dan 15-16 tahun untuk perempuan. Jika mempelai laki-laki ingin mempelai wanitanya tinggal bersama keluarga mempelai laki-laki, si laki-laki harus membayar keluarga mempelai wanita (uang antaran). Jika mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai perempuan, orang tua mempelai perempuan hanya diwajibkan memberikan kenang-kenangan kepada pihak laki-laki. Generasi tua suku Kaur biasanya memiliki rata-rata 13 anak dalam tiap keluarga.[20]
Suku Kaur
Suatu keunikan yang terdapat pada masyarakat suku Kaur, adalah para wanitanya tidak perduli menyusui bayinya di depan umum, terutama pada masyarakat suku Kaur di desa Gedung Sako Senahak. Rumah pemukiman suku Kaur, saat ini telah terbuat dari batu (semen dan batu bata/bataco) dan beratap seng. Uniknya rumah-rumah suku Kaur ini semuanya diberi warna cat biru dan putih. Perapian biasanya digunakan untuk memasak dan sumur terlihat dihalaman belakang, demikian, juga ayam, bebek dan sapi terlihat berlarian di sekitar tempat itu. "gotong royong" dan pelayanan masyarakat dilakukan di desa ini. Mereka suka memberikan pertolongan kepada siapapun termasuk membantu pada masa panen.[21]
Masyarakat suku Kaur pada umumnya secara mayoritas memeluk agama Islam. Mereka adalah penganut agama Islam yang taat. Sehingga pada beberapa adat kebudayaan mereka dipengaruhi oleh budaya Islam. Generasi muda mereka pada umumnya bersekolah di sekolah Islam (madrasah). [22]
Salah satu rumah adat Kaur yang berada didesa Nasal
Dikabupaten Kaur, disamping dikenal dengan aspek beladirinya dikenal pula aspek pencak silat seni yang disebut Tari Pencak Silat, sehingga apabila mendengar kata pencak silat yang terbayang oleh masyrakat bukanlah sekedar suatu sistem pembelaan diri, melaikan suatu seni tari yang gerakkan-gerakannya diambil dari gerakan pencak silat, baik gerakan serangan maupun belaan.[23]








                     


              BAB III
            PENUTUP

A.Kesimpulan
Daerah bengkulu memiliki beberapa suku yang mana diantaranya suku serawai, suku kaur, suku pekal, suku enggano, suku rejang, suku muko-muko, suku lembak dan suku melayu bengkulu. Dan dari suku-suku tersebut memiliki sistem mata pencaharian, adat-istiadat, dan kebudayaan tersendiri.
            Suku bangsa Rejang merupakan suku bangsa tertua dan terbesar. Mereka mendiami Kabupaten Rejang Lebong kabupaten Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kecamatan karang tinggi, Kecamatan Lubuk Durian, Kecamatan Kerkap, dan Kecamatan Air Besi. Selain itu dengan hal nya, dengan  Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi kedua terbesar yang hidup di daerah bengkulu. Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Suku Melayu Bengkulu, adalah salah satu suku yang berdiam di kabupaten Bengkulu. Penyebaran suku Melayu Bengkulu ini terpusat di kota Bengkulu dan di beberapa kabupaten, yaitu di Kepahiang, Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah. Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di antaranya: Kain Bersurek, merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul. Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya atau sebesar 95% lebih menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan masyarakat di Provinsi Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut anak yang baru lahir.
Yup Kakadie adalah sebutan untuk rumah tinggal kepala suku Enggano yang berbentuk rumah panggung bulat disangga empat tiang yang tertanam ke tanah. Bagian atas berbentuk kubah dengan atap terbuat dari daun rotan yang sekaligus berfungsi sebagai diding rumah. Tangga dibuat dari sebatang kayu yang dapat dianggat keatas rumah Yup Kakadie tidak mempunyai dapur, untuk kebutuhan pangan kepala suku disediakan oleh warganya. Bangunan ini dikelilingi rumah warga (yup kadiop) yang berbentuk persegi panjang yang juga berfungsi sebagai pelindung terhadap kepala suku dan warganya.
Suku Mukomuko, adalah suatu komunitas suku yang pemukimannya berada di bagian paling utara di wilayah provinsi Bengkulu. Dahulunya mereka termasuk masyarakat yang terisolasi di pedalaman, tetapi saat ini telah dibangun akses jalan menuju pemukiman mereka, sehingga mereka terlepas dari keterasingan mereka di pedalaman.
Suku Pekal adalah suku bangsa yang mendiami wilayah sekitar kabupaten Mukomuko yang berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Bahasa suku Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada bahasa Minangkabau.
Suku Lembak Kelingi bermukim di pedalaman Bengkulu, yakni di hulu sungai Musi. Tempat tinggal mereka merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Bengkulu dan Sumatera Selatan, dengan pola perkampungan yang mengelompok padat. Di Propinsi Bengkulu, mereka menyebut diri mereka sebagai suku Sindang Kelingi atau Lembak Sindang Merdeka. Suku ini biasa juga disebut orang Bulang. Tempat tinggal suku ini terpencar-pencar, di antaranya sebagian ada di Kabupaten Rejang Lebong, yaitu Kecamatan Padang Ulaktanding; sebagian lagi terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara, yaitu di Kecamatan Talangempat. Bahasa orang Lembak adalah bahasa Buang, yang masih serumpun dengan bahasa Melayu. Orang Lembak memiliki tulisan asli yang disebut Surat Ulu, seperti halnya suku Rejang dan Serawai.
Suku Kaur adalah suku bangsa di kabupaten Kaur. Pemukiman orang Kaur berdekatan dengan kediaman suku Serawai dan Besemah. Berbeda dengan kedua suku bangsa tersebut yang menggunakan bahasa Melayu Tengah, suku Kaur menggunakan bahasa Kaur.









[1] Badrul Munir Hamidi, Mask Dan Berkembangnya Islam Didaerah Bengkulu, (Bengkulu: STQ Nasional, 2004), hlm.10
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Rejang-Budaya
[3] http://mey20.wordpress.com/budaya/masyarakat-kebudayaan-rejang/
[4] Katalok Musium Negri Bengkulu 2013, hlm.15
[6] ibid
[7] http://budayasukuserawai.blogspot.com/
[8] Katalok Musium Negri Bengkulu 2013, hlm.13
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Bengkulu
[10] https://beenet215.wordpress.com/suku-enggano/
[11] Katalok Musium Negri Bengkulu 2013,hlm.19
[12] Ibid., hlm.14
[13] http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-mukomuko.html
[14] ibid
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Pekal
[16] http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-pekal.html
[17] ibid
[18] http://misi.sabda.org/suku-lembak-bengkulu
[19] ibid
[20] http://misi.sabda.org/suku-lembak-bengkulu
[21] http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-kaur.html
[22] http://pelanggan.if-kom.com/lira/lira-ormas/ormas-news/etnik/6383-suku-kaur-provinsi-bengkulu.html
[23] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kaur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar