BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bengkulu yang terletak dibagian selatan pesisir
barat Pulau Sumatra memiliki sembilan sub etnis yang merupakan penduduk asli
yaitu, Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Pasmah, Melayu Bengkulu, Serawai, Kaur,
dan Enggano. Penduduk asli ini berbaur dengan pendatang dari Aceh, Batak,
Minangkabau, Sunda, Jawa, Bugis, India, Cina, dan lain-lain yang menyebut diri
mereka sebagai orang Bengkulu, melahirkan Bengulu sebagai satu komunitas
budaya.
Keanekaragaman etnis melahirkan kekayaan budaya yang
menjadi ciri khas masing-masing sebagai aset daerah yang perlu ditumbuh
kembangkan. Ciri yang tampak dipermukaan antara lain adat-istiadat beserta
atributnya seperti pakaian adat yang merupakan cerminan dari identitas
kolektif.
Pada pakaian adat tradisional tersebut terdapat
motif-motif yang mencerminkan adat-istiadat yang dijunjung tinggi oleh
masyrakat pendukungnya. Motif-motif itu juga merupakan simbol-simbol yang dapat
mengatur pola hidup sehingga komunitas antar individu maupun kelompok akan
terjalin dengan serasi. Ada kalanya simbol-simbol tersebut mengandung
nilai-nilai sakral yang berkaitan dengan religi bahkan magic yang diyakini
mempunyai kekuatan.
B. Ruusan
masalah
Bagaimana
suku-suku di Bengkulu ?
C. Tujuan
Masalah
Menjelaskan
suku-suku di Bengkulu
BAB
II
PEMBAHASAN
SUKU-SUKU
DI BENGKULU
A.
Suku Rejang Lebong
Suku
bangsa Rejang merupakan suku bangsa tertua dan terbesar. Mereka mendiami
Kabupaten Rejang Lebong kabupaten Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kecamatan karang
tinggi, Kecamatan Lubuk Durian, Kecamatan Kerkap, dan Kecamatan Air Besi.[1]
Mata
pencaharian utama suku Rejang adalah bercocok tanam. Usaha lainnya adalah peternakan,
pertukangan kayu, penebangan kayu, menangkap ikan di sungai, penyadapan karet,
atau bekerja di perkebunan dan pengolahan kayu. Mereka juga melakukan
penggalian batu bara, perak, emas, timah, seng, tembaga dan belerang yang masih
dikerjakan secara tradisional. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat
dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terbuat dari bahan kayu
(papan) tersebut mampu bertahan hingga ratusan tahun dan sampai sekarang masih
utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi,
meskipun terlihat sangat sederhana. Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi
dengan ukiran penuh dengan simbol-simbol flora seperti daun, bunga atau
lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu
dihiasi dengan ukiran dari papan, yang kemudian ditempelkan dinding kayu
(menyatu).
Ciri
khas ornamen klasik dengan arsitektur bernilai seni tinggi pada rumah orang
Rejang mengisyaratkan status sosial pemiliknya. Ciri khasnya adalah pemasangan
papan pada dinding dilakukan secara berdiri, di bagian dinding depan rumah
biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang
Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup
besar (beranda) . Di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di
sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli
orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran
separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian
ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi
yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga
pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri
khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter
tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat
persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat
kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya.[2]
Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau
menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Rumah-rumah
tua ini hampir semuanya dilengkapi kamar mandi di bagian belakang lengkap
dengan pancurannya beserta tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung
pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna
itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan). Dulunya, rumah-rumah asli Rejang
itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel,
sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran
(tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan).[3]
Pakaian
pengantin Rejang
Laki-laki
menggunakan singal (hiasan kepala), kalung glamor, teratai, pending, gelang,
dan kain tanjung bedompak. Pakaian wanita menggunan cu’ulau, layang kunci,
kalung emping, dan kain tanjung bedompak.[4]
Kesenian
suku Rejang mempunyai ciri khas tertentu, salah satunya Tari Kejei, tarian ini
tidak bisa ditarikan disembarang tempat dan acara, mengingat tari ini merupakan
tari persembahan yang digelar untuk menyambut tamu yang di agung atau kunjungan
pertama, untuk kunjungan selanjutnya tidak digelar lagi, karena tamu tersebut
sudah dianggap warga Rejang Lebong.[5]
Tari
Keji
Desa
orang Rejang disebut juga Marga. Ini merupakan daerah administratif pemerintah
yang dikepalai oleh seorang Ginde (pemimpin tradisional), yang kadang-kadang
dibantu oleh seorang Penggao. Dalam adat orang Rejang pegawai pemerintah juga
merupakan pemimpin tradisional. Di beberapa daerah mereka disebut sebagai raja
penghulu. Selain itu ada juga pemimpin yang besar pengaruhnya dalam Marga atau
Dusun, yaitu orang lanjut usia yang biasa disebut Tua Dusun atau orang yang
dianggap sesepuh di desa tersebut.[6]
Orang Rejang menyebutnya Tuai-kutai, seorang persona grata di dalam masyarakat
mereka, seorang penasehat warga desa, dan selalu ditunjuk sebagai pemimpin
tertua dalam upacara-upacara tradisional.
Sebagian
besar orang Rejang beragama Islam. Namun demikian animisme merupakan bagian
yang integral dari kepercayaan dan kebiasaan hidup orang Rejang. Misalnya,
harimau yang disebut masumai, adalah makhluk yang paling ditakuti. Konon dapat
berubah bentuknya dan menjelma menjadi manusia yaitu seorang dukun. Orang
Rejang sering menggunakan kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain dari
jarak jauh, mengucapkan ikrar di tempat keramat (termasuk kuburan), berziarah
ke makam-makam, dan menganut banyak macam ilmu gaib.
B.
Suku Serawai
Suku
Serawai adalah suku bangsa dengan populasi kedua terbesar yang hidup di daerah
Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu
Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan
Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak
dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru,
seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu
Utara, dan sebagainya.
Secara
tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya
perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis
tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian,
mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan
untuk kebutuhan hidup.
Secara
umum, orang-orang Serawai adalah Muslim, namun kehidupan sehari-hari mereka
masih banyak dipengaruhi oleh keyakinan animisme. Ini terlihat dari beberapa
macam upacara animisme yang masih mereka lakukan, seperti Upacara Mendundang
(upacara mencuci benih padi sebelum ditanam) dan Upacara Nuruni (upacara
mengikat batang padi yang baru dipanen menjadi satu). Upacara-upacara ini
dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka memperlakukan tanaman padi dengan
baik. Dengan demikian, roh dari tanaman padi itu tidak meninggalkan ladang
mereka dan terjadi gagal panen. Pada waktu tertentu, para petani juga
mempersembahkan kambing di kuil-kuil atau makam kuno. Selain itu, mereka masih
sering menggunakan jasa dukun dan takut akan ma`sumai harimau ganas yang
menjelma menjadi sosok manusia, yang akan memikat dan menewaskan korbannya.[7]
Jadi,
suku serawai ini masih sangat percaya terhadap hal-hal mistis yang diwariskan
oleh leluhur mereka. Orang-orang Serawai yang tinggal di pedalaman merupakan
kelompok masyarakat termiskin di antara kelompok-kelompok pribumi di Sumatera.
Perkampungan mereka terdiri dari rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu
dan menggunakan atap rumbia. Umumnya, perkampungan-perkampungan ini berada di
sepanjang sisi jalan atau sungai, dan dikelompokkan ke dalam beberapa marga.
Kepala marga disebut pasirah dan diberi gelar khalifah. Untuk mengatur
kampung-kampung yang ada dalam kekuasaannya, pasirah dibantu oleh beberapa
depati. Satu di antaranya diangkat sebagai mangku atau depati utama.
C.
Melayu Bengkulu
Suku
Melayu Bengkulu, adalah salah satu suku yang berdiam di kabupaten Bengkulu.
Penyebaran suku Melayu Bengkulu ini terpusat di kota Bengkulu dan di beberapa
kabupaten, yaitu di Kepahiang, Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah. Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di
antaranya: Kain Bersurek, merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul.
Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya atau sebesar 95% lebih
menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan masyarakat di Provinsi
Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut
anak yang baru lahir.
Kain Basurek Bengkulu
Pakaian
adat pengantin melayu Bengkulu
Pakaian
laki-laki berhiaskan singal, hiasan kepala, kalung, pending, keris terapang,
kain tanjung bedompak, baju betabur dan celana. Pakaian wanita berhiasankan
singal, hiasan kepala, kalung gelamor, baju betabur, gelang, sapu tangan, kain
tanjung bedompak dan sandal manic.[8]
Salah
satu upacara tradisional adalah upacara yang sekarang populer dengan nama TABOT
yaitu suatu perayaan tradisional yang dilaksanakan dari tanggal 1 sampai dengan
tanggal 10 Muharram setiap tahunnya, untuk memperingati gugurnya Hasan dan
Husen cucu Nabi Muhammad SAW oleh keluarga Yalid dari kaum Syiah, dalam
peperangan di Karbala pada tahun 61 Hijriah. Pada perayaan TABOT tersebut
dilaksanakan berbagai pameran serta lomba ikan – ikan, telong – telong, serta
kesenian lainnya yang diikuti oleh kelompok – kelompok kesenian yang ada di
Provinsi Bengkulu, sehingga menjadikan ajang hiburan rakyat dan menjadi salah
satu kalender wisatawan tahunan.
Upacara
tradisional Masyarakat Bengkulu
Terdapat
empat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu, yakni: Bahasa
Melayu, Bahasa Rejang, Bahasa Pekal, Bahasa Lembak. Penduduk Provinsi Bengkulu
berasal dari tiga rumpun suku besar terdiri dari Suku Rejang, Suku Serawai,
Suku Melayu. Sedangkan lagu daerah yaitu Lalan Balek.[9]
Dalam
budaya suku Melayu Bengkulu ini juga mengenal tradisi pantun. Pantun biasanya
dilakukan pada saat melakukan acara-acara resmi, seperti acara pernikahan yang
dilakukan semalam suntuk oleh puluhan orang bersama-sama dan bersahut-sahutan. Masyarakat
suku Melayu Bengkulu menganut agama Islam, seperti suku Melayu lainnya, bahwa
dalam pemikiran Melayu, "Melayu adalah Islam". Agama Islam sangat
kuat pengaruhnya dalam budaya Melayu. Terlihat dalam kehidupan sehari-hari,
budaya dan tradisi adat, seluruhnya dipengaruhi oleh unsur budaya Islam.
Masyarakat
suku Melayu Bengkulu saat ini telah berkembang menjadi masyarakat yang maju.
Sebagian dari mereka yang hidup di pesisir pada umumnya berprofesi sebagai
nelayan. Sedangkan yang bermukim di kota Bengkulu dan daerah-daerah lain banyak
menjadi pedagang, atau bidang profesi lain.
D.
Suku Enggano
Meskipun
asal-usul suku Enggano belum diketahui secara pasti, namun masyarakat setempat
mmemiliki cerita tersendiri tentang adanya suku Enggano. Menurut leluhur
setempat, suku Enggano berawal dari kisah hidup dua pasangan manusia bernama
Kimanipe dan Manipah yang merupakan manusia pertama di pulau tersebut. Kisah
mereka pun mirip layaknya kisah pasangan manusia pertama Adam dan Hawa. Kaminape
dan Manipah pada awalnya adalah penumpang yang terdampar dari musibah di kapal
layar mereka. kapal tersebut terkena wabah penyakit sehingga banyak yang
meninggal dan hanya menyisakan mereka.[10]
Pasca peristiwa tersebut pun, mereka melanjutkan hidupnya di Pulau Enggano dan
memiliki beberapa keturunan.
Dahulu
karena seringnya terjadi perang antar suku, rumah tinggal Suku Enggano berada
di puncak bukit dengan tujuan agar mudah saat mengintai musuh.
Yup
Kakadie adalah sebutan untuk rumah tinggal kepala suku Enggano yang berbentuk
rumah panggung bulat disangga empat tiang yang tertanam ke tanah. Bagian atas
berbentuk kubah dengan atap terbuat dari daun rotan yang sekaligus berfungsi
sebagai diding rumah. Tangga dibuat dari sebatang kayu yang dapat dianggat
keatas rumah Yup Kakadie tidak mempunyai dapur, untuk kebutuhan pangan kepala
suku disediakan oleh warganya. Bangunan ini dikelilingi rumah warga (yup
kadiop) yang berbentuk persegi panjang yang juga berfungsi sebagai pelindung
terhadap kepala suku dan warganya.[11]
Kehidupan
masyarakat pulau Enggano berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya warisan
nenek moyangnya, seperti kelompok-kelompok suku bangsa, sistem perkawinan adat,
sistem kepemimpinan tradisional, pola pemukiman tradisional dan sistem
kemasyarakatan. sampai saat ini sistem-sistem tersebut masih terpelihara,
dipertahankan dan dijadikan landasan sosial bagi kehidupan antarumat beragama.
Pakaian
tradisional Enggano[12]
Pakaian tradisional orang Enggano
terbuat dari daun pisang kering yang digunakan untuk menutup bagian atas dan
bagian bawah sebagai rok.
E.
Muko-muko
Suku
Mukomuko, adalah suatu komunitas suku yang pemukimannya berada di bagian paling
utara di wilayah provinsi Bengkulu. Dahulunya mereka termasuk masyarakat yang
terisolasi di pedalaman, tetapi saat ini telah dibangun akses jalan menuju
pemukiman mereka, sehingga mereka terlepas dari keterasingan mereka di
pedalaman.
Bahasa
yang diucapkan oleh suku Mukomuko ini adalah bahasa Mukomuko. Oleh para
peneliti bahasa, bahasa Mukomuko ini dianggap sebagai bagian dari dialek bahasa
Minangkabau, karena terdapat beberapa kemiripan dengan bahasa Minangkabau.
Sebenarnya selain mirip dengan bahasa Minangkabau, bahasa Mukomuko ini juga
sangat berkerabat dengan bahasa Rejang, karena hampir 60% mirip dengan bahasa
Rejang. Sedangkan terdapatnya dialek Minangkabau pada bahasa Mukomuko ini diperkirakan
dialek ini dibawa oleh para pendatang Minangkabau pada masa lalu yang hidup
berbaur dengan masyarakat setempat, dan secara tidak langsung membawa pengaruh
ke dalam bahasa asli suku Mukomuko ini. Jadi bahasa Mukomuko ini kemungkinan
merupakan hasil asimilasi antara bahasa Rejang dengan bahasa Minangkabau serta
dengan bahasa Melayu setempat. [13]
Mata
pencaharian utamanya adalah bertani, menangkap ikan, berburu babi hutan
bertukang, berdagang, menganyam rotan dan pandan. Kaum wanita umumnya membuat
batik yang disebut Besurek dan songket Bengkulu. Kerajinan khas suku Muko Muko
adalah kerajinan batu ajik. Di samping itu rakyat juga mengusahakan perkebunan
rakyat dengan hasil utama yaitu karet, cengkeh dan kelapa sawit.
Budaya
yang sangat terkenal dari suku Muko Muko adalah Tari Gandai, yang merupakan
bentuk kesenian dengan ciri budaya Melayu dan dipengaruhi kesenian Minangkabau.
Pada saat tertentu, misalnya, menghadiri upacara adat tertentu, mereka memakai
busana adat, yaitu jenis teluk belanga/jas tutup warna hitam lengkap dengan
destar kain besurek (untuk pria) dan jenis baju/kebaya "Betabur"
dengan pasangan kain songket berbenang emas (untuk wanita). [14]
Tari Gandai
Masyarakat
suku Mukomuko secara mayoritas adalah pemeluk agama Islam. Terlihat dari
beberapa kesenian dan adat-istiadat mereka banyak mengandung unsur budaya Islam
yang terserap ke dalam budaya suku Mukomuko.
Rumah
adat muko-muko
F. Suku
Pekal
Suku
Pekal adalah suku bangsa yang mendiami wilayah sekitar kabupaten Mukomuko yang
berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Bahasa suku Pekal jelas
memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang.
Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau
dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan
Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa
pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan
suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah
suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa
Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada
bahasa Minangkabau. [15]
Tradisi
dan budaya Pekal ini banyak dipengaruhi oleh dua budaya lain seperti dari
budaya Minangkabau dan budaya Rejang. Sepertinya mereka sangat mudah menyerap
tradisi dan budaya dari luar, dan menerimanya menjadi bagian dari budaya mereka
sendiri. Saat ini sangat susah mencari akar budaya dari suku Pekal, Karena
sebagian besar mereka ambil dari tradisi dan budaya dari luar mereka.
Pakaian
adat suku Pekal
Suku
Pekal adalah pemeluk Islam secara mayoritas. Beberapa acara adat dan seni
budaya mereka juga terlihat unsur Islami. Walaupun mereka telah memeluk Islam,
tetapi beberapa kepercayaan terhadap hal-hal animisme dan dinamisme masih
terlihat dalam kehidupan masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal gaib
dan tempat-tempat keramat yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan
mereka.
Rumah
adat masyarakat suku Pekal itu sendiri tidak berbeda dengan rumah adat dengan
suku lainnya yang ada di Bengkulu, yaitu rumah panggung. Sedangkan untuk
senjata suku Pekal yaitu keris, tombak, dan parang. Baik yang dianggap sebagai
benda keramat dan juga digunakan sebagai senjata untuk berburu hewan serta
digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang lainnya. Makanan khas dari Suku Pekal
itu sambal unjang. Sambal unjang adalah makanan yang dimasak dalam bambu dan
isinya ikan dicampur dengan rempah-rempah. Ikan itu dihancurkan bersamaan dengan
bumbu-bumbu dan diletakkan di atas api dan di atasnya ditutup dengan daun
pisang. Hampir sama dengan cara memasak lemang ataupun memasak ikan pais, namun
yang membedakannya ikan pais menggunkan daun pisang kalau sambal unjang
menggunakan bambu.[16]
Masyarakat
suku Pekal ini rata-rata hidup dan berprofesi sebagai petani pada perladangan
dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat suku Pekal juga telah bekerja pada
sektor swasta dan sektor pemerintahan. Suku Pekal 80% mata pencariannya
merupakan petani, yakni mayoritas berkebun karet dan kelapa sawit. Dari mata
pencarian ini terlihat bahwa suku Pekal pada masa sekarang berada pada
tingkatan peradapan pertanian.[17]
Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap. Ada
jugamasyarakat suku Pekal yang berada di pesisir pantai yang memanfaatkan hasil
laut sebagai nelayan.
G.
Suku Lembak
Suku
Lembak Kelingi bermukim di pedalaman Bengkulu, yakni di hulu sungai Musi.
Tempat tinggal mereka merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Bengkulu dan
Sumatera Selatan, dengan pola perkampungan yang mengelompok padat. Di Propinsi
Bengkulu, mereka menyebut diri mereka sebagai suku Sindang Kelingi atau Lembak
Sindang Merdeka. Suku ini biasa juga disebut orang Bulang. Tempat tinggal suku
ini terpencar-pencar, di antaranya sebagian ada di Kabupaten Rejang Lebong,
yaitu Kecamatan Padang Ulaktanding; sebagian lagi terdapat di Kabupaten
Bengkulu Utara, yaitu di Kecamatan Talangempat. Bahasa orang Lembak adalah
bahasa Buang, yang masih serumpun dengan bahasa Melayu.[18] Orang
Lembak memiliki tulisan asli yang disebut Surat Ulu, seperti halnya suku Rejang
dan Serawai.
Mata
pencaharian pokok orang Lembak adalah bercocok tanam di sawah dan ladang.
Daerah suku Lembak juga merupakan daerah perkebunan karet dan banyak pria suku
Lembak bekerja sebagai penyadap karet. Selain itu mereka mengelola pabrik
pembuatan batu bata di pedesaan.
Rumah-rumah
orang Lembak berbentuk rumah panggung dengan ruangan-ruangan besar, dan lebih
lengkap perabotnya daripada orang Lintang dan Rawas. Listrik tersedia diseluruh
daerah dari Muaraklingi sampai Danau Emas. Bahan bakar untuk memasak adalah
minyak tanah atau kayu. Kebanyakan rumah memiliki tangga ke arah samping rumah.
Pakaian mereka cukup bersih, para pria biasanya tidak mengenakan baju bila di
rumah, para wanita yang lebih tua memakai kain sarung.[19]
Rumah
adat suku Lembak
H.
Suku Kaur
Suku
Kaur adalah suku bangsa di kabupaten Kaur. Pemukiman orang Kaur berdekatan
dengan kediaman suku Serawai dan Besemah. Berbeda dengan kedua suku bangsa
tersebut yang menggunakan bahasa Melayu Tengah, suku Kaur menggunakan bahasa
Kaur.
Mata
pencarian pokok suku Kaur adalah petani yang mengandalkan hasil dari
persawahan. Selain itu, daerah ini terkenal dengan hasil cengkeh dan lada.
Berternak, kebun sawet, kebun karet, menangkap ikan, dan berdagang merupakan
usaha tambahan mereka. Kaum pria bekerja di ladang, sementara kaum wanita
mengurus rumah tangga. Setelah panen padi, biasanya mereka panen buah-buahan
seperti durian dan mangga.
Orang
Kaur tidak diperbolehkan menikahi orang dari marga lain, tetapi bisa menikah
dengan orang Kaur dari desa lain. Pernikahan hanya bisa terjadi sesudah
perayaan panen padi. Usia pernikahan umumnya 20 tahun untuk laki-laki, dan
15-16 tahun untuk perempuan. Jika mempelai laki-laki ingin mempelai wanitanya
tinggal bersama keluarga mempelai laki-laki, si laki-laki harus membayar
keluarga mempelai wanita (uang antaran). Jika mempelai laki-laki tinggal di
rumah mempelai perempuan, orang tua mempelai perempuan hanya diwajibkan
memberikan kenang-kenangan kepada pihak laki-laki. Generasi tua suku Kaur
biasanya memiliki rata-rata 13 anak dalam tiap keluarga.[20]
Suku
Kaur
Suatu
keunikan yang terdapat pada masyarakat suku Kaur, adalah para wanitanya tidak
perduli menyusui bayinya di depan umum, terutama pada masyarakat suku Kaur di
desa Gedung Sako Senahak. Rumah pemukiman suku Kaur, saat ini telah terbuat
dari batu (semen dan batu bata/bataco) dan beratap seng. Uniknya rumah-rumah
suku Kaur ini semuanya diberi warna cat biru dan putih. Perapian biasanya
digunakan untuk memasak dan sumur terlihat dihalaman belakang, demikian, juga
ayam, bebek dan sapi terlihat berlarian di sekitar tempat itu. "gotong
royong" dan pelayanan masyarakat dilakukan di desa ini. Mereka suka
memberikan pertolongan kepada siapapun termasuk membantu pada masa panen.[21]
Masyarakat
suku Kaur pada umumnya secara mayoritas memeluk agama Islam. Mereka adalah
penganut agama Islam yang taat. Sehingga pada beberapa adat kebudayaan mereka
dipengaruhi oleh budaya Islam. Generasi muda mereka pada umumnya bersekolah di
sekolah Islam (madrasah). [22]
Salah
satu rumah adat Kaur yang berada didesa Nasal
Dikabupaten
Kaur, disamping dikenal dengan aspek beladirinya dikenal pula aspek pencak
silat seni yang disebut Tari Pencak Silat, sehingga apabila mendengar kata
pencak silat yang terbayang oleh masyrakat bukanlah sekedar suatu sistem
pembelaan diri, melaikan suatu seni tari yang gerakkan-gerakannya diambil dari
gerakan pencak silat, baik gerakan serangan maupun belaan.[23]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Daerah
bengkulu memiliki beberapa suku yang mana diantaranya suku serawai, suku kaur,
suku pekal, suku enggano, suku rejang, suku muko-muko, suku lembak dan suku
melayu bengkulu. Dan dari suku-suku tersebut memiliki sistem mata pencaharian,
adat-istiadat, dan kebudayaan tersendiri.
Suku bangsa Rejang merupakan suku bangsa tertua dan
terbesar. Mereka mendiami Kabupaten Rejang Lebong kabupaten Lebong, Kabupaten
Kepahiang, Kecamatan karang tinggi, Kecamatan Lubuk Durian, Kecamatan Kerkap,
dan Kecamatan Air Besi. Selain itu dengan hal nya, dengan Suku Serawai adalah suku bangsa dengan
populasi kedua terbesar yang hidup di daerah bengkulu. Secara tradisional, suku
Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak
di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras,
misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga
mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk
kebutuhan hidup.
Suku
Melayu Bengkulu, adalah salah satu suku yang berdiam di kabupaten Bengkulu.
Penyebaran suku Melayu Bengkulu ini terpusat di kota Bengkulu dan di beberapa
kabupaten, yaitu di Kepahiang, Rejang Lebong, Bengkulu Utara dan Bengkulu
Tengah. Adat dan istiadat yang cukup akrab dengan masyarakat Bengkulu, di
antaranya: Kain Bersurek, merupakan kain bertuliskan huruf Arab gundul.
Kepercayaan masyarakat di Provinsi Bengkulu umumnya atau sebesar 95% lebih
menganut agama Islam. Upacara adat juga banyak dilakukan masyarakat di Provinsi
Bengkulu seperti, sunat rasul, upacara adat perkawinan, upacara mencukur rambut
anak yang baru lahir.
Yup
Kakadie adalah sebutan untuk rumah tinggal kepala suku Enggano yang berbentuk
rumah panggung bulat disangga empat tiang yang tertanam ke tanah. Bagian atas
berbentuk kubah dengan atap terbuat dari daun rotan yang sekaligus berfungsi
sebagai diding rumah. Tangga dibuat dari sebatang kayu yang dapat dianggat
keatas rumah Yup Kakadie tidak mempunyai dapur, untuk kebutuhan pangan kepala
suku disediakan oleh warganya. Bangunan ini dikelilingi rumah warga (yup
kadiop) yang berbentuk persegi panjang yang juga berfungsi sebagai pelindung
terhadap kepala suku dan warganya.
Suku
Mukomuko, adalah suatu komunitas suku yang pemukimannya berada di bagian paling
utara di wilayah provinsi Bengkulu. Dahulunya mereka termasuk masyarakat yang
terisolasi di pedalaman, tetapi saat ini telah dibangun akses jalan menuju
pemukiman mereka, sehingga mereka terlepas dari keterasingan mereka di
pedalaman.
Suku
Pekal adalah suku bangsa yang mendiami wilayah sekitar kabupaten Mukomuko yang
berada dekat perbatasan Jambi dan Sumatera Barat. Bahasa suku Pekal jelas
memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang.
Sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau
dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa, dan
Bugis. Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa
pada suku Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan
suku Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah
suku Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa
Rejang. Jika mendekati wilayah budaya Minangkabau, dialeknya akan mengarah pada
bahasa Minangkabau.
Suku
Lembak Kelingi bermukim di pedalaman Bengkulu, yakni di hulu sungai Musi.
Tempat tinggal mereka merupakan daerah perbatasan antara Propinsi Bengkulu dan
Sumatera Selatan, dengan pola perkampungan yang mengelompok padat. Di Propinsi
Bengkulu, mereka menyebut diri mereka sebagai suku Sindang Kelingi atau Lembak
Sindang Merdeka. Suku ini biasa juga disebut orang Bulang. Tempat tinggal suku
ini terpencar-pencar, di antaranya sebagian ada di Kabupaten Rejang Lebong,
yaitu Kecamatan Padang Ulaktanding; sebagian lagi terdapat di Kabupaten
Bengkulu Utara, yaitu di Kecamatan Talangempat. Bahasa orang Lembak adalah
bahasa Buang, yang masih serumpun dengan bahasa Melayu. Orang Lembak memiliki
tulisan asli yang disebut Surat Ulu, seperti halnya suku Rejang dan Serawai.
Suku
Kaur adalah suku bangsa di kabupaten Kaur. Pemukiman orang Kaur berdekatan
dengan kediaman suku Serawai dan Besemah. Berbeda dengan kedua suku bangsa
tersebut yang menggunakan bahasa Melayu Tengah, suku Kaur menggunakan bahasa
Kaur.
[1]
Badrul Munir Hamidi, Mask Dan Berkembangnya Islam Didaerah
Bengkulu, (Bengkulu: STQ Nasional, 2004), hlm.10
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Rejang-Budaya
[3] http://mey20.wordpress.com/budaya/masyarakat-kebudayaan-rejang/
[6] ibid
[7]
http://budayasukuserawai.blogspot.com/
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Bengkulu
[10]
https://beenet215.wordpress.com/suku-enggano/
[12] Ibid., hlm.14
[13]
http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-mukomuko.html
[14] ibid
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Pekal
[16] http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-pekal.html
[17] ibid
[18] http://misi.sabda.org/suku-lembak-bengkulu
[19] ibid
[20]
http://misi.sabda.org/suku-lembak-bengkulu
[21]
http://protomalayans.blogspot.com/2012/08/suku-kaur.html
[22] http://pelanggan.if-kom.com/lira/lira-ormas/ormas-news/etnik/6383-suku-kaur-provinsi-bengkulu.html
[23] http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kaur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar